Rabu, 29 April 2009

mycoplasma pada babi (porcine enzootic pneumonia) oleh satriana

Mycoplasma pada Babi

Mycoplasma
Mycoplasma berasal dari bahasa latin ‘mollis’ yang berarti lembut dan ‘cutis’ yang beraarti kulit. Mycoplasma merupakan bakteri gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob, kelas mollicutes, ordo mycoplasmatales dan genus mycoplasma. Terdiri dari tiga family antara lain mycoplasma, ureaplasma, dan acholeplasma Organisme ini merupakan pleomorfik terkecil dengan ukuran 0.2 mm sampai 0.3 mm yang tidak memiliki dinding sel tetapi dikelilingi oleh membran plasma, hal ini menyebabkan mycoplasma sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotic. Membrane plasmanya tersusun atas lipid (phospolipid, glycolipid, lipoglycan, sterol) dan protein. Mikroorganisme ini bereplikasi dengan cara pembelahan sel.
Infeksi penyakit akibat mycoplasma secara umum biasa disebut mycoplasmosis. Menurut Bailao et al (2007) meskipun mikroorganisme ini memiliki genom yang sederhana akan tetapi penyakit yang ditimbulkannya sangat kompleks dan belum banyak diketahui. Selain itu, mycoplasmosis biasanya berjalan kronis dikarenakan mycoplasma mampu bertahan dari antibody inang serta mudah disertai infeksi sekunder dari mikroorganisme lain. Ada beberapa spesies mycoplasma dengan host yang berbeda-beda, salah satunya yaitu mycoplasma yang menyerang babi.
Mycoplasma hyopneumoniae
Etiologi
Mycoplasma hyopneumonia merupakan mikroorganisme pleomorfik, tidak memiliki dinding sel, terdiri dari tiga lapis membran, bersifat gram negatif dan dapat bereplikasi sendiri. Secara umum Mycoplasma hyopneumonia dapat diklasifikasikan dalam kingdom bacteria, divisi firmicutes, kelas mullicutes, ordo mycoplasmatales, family mycoplasmataceae, genus mycoplasma, dan spesies mycoplasma hyopneumonia. Mycoplasma hyopneumoniae memiliki ukuran yang sangat kecil sekitar 400-600 nm dan memiliki tiga strain antara lain 232, 7448 dan J yang menyebabkan banyaknya rangkaian dari M. hyopneumoniae. Mikroorganisme ini diisolasi pertama kali pada manusia tahun 1937. Saat ini Mycoplasma hyopneumoniae diketahui bersifat patogen pada babi.

Patogenesa
Infeksi Mycoplasma hyopneumoniae pada babi dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan terutama di paru-paru. Salah salah satu penyakit yang diketahui sebagai akibat dari infeksi mikroorganisme ini adalah Porcine Enzootic Pneumonia. Penyakit ini sangat kontagius dan penularannya dapat melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi (Lopes 1995). Dampak yang dapat muncul akibat enzootic pneumonia antara lain penurunan bobot badan dari hewan serta kerugian ekonomi yang sangat signifikan. Peyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur akan tetapi hewan muda akan lebih peka. Menurut Melintira et all (2003), pada hewan yang sebelumnya belum pernah terpapar akan mengalami infeksi saluran pernapasan akut berupa kesulitan beernapas yang akut dan kematian. Jika penyakit ini telah berjalan kronis maka gejala klinis hanya akan terlihat jika hewan penurunan daya tahan tubuh.
Mikroorganisme masuk ke dalam jaringan paru-paru melalui saluran pernapasan atas dengan cara membentuk koloni di silia saluran pernapasan, melekat di epitel trachea dan menuju lobus bagian cranial paru-paru untuk selanjutnya menuju alveolus sekitarnya (Staf Pengajar Patologi Anatomi FK UI Jakarta 1973). Perlekatan pada epitel saluran pernapasan dapat menyebabkan masuknya neutrofil ke dalam mukosa trcheobronchial, berkurangnya silia epitel, menstimulasi hiperplasia limfosit Broncho Assosiated Limfoid Tissue (BALT), dan mengganti komposisi kimia mukus di saluran pernapasan. Mycoplasma hyopneumoniae umumnya menyerang babi yang berumur enam minggu. Masa inkubasi tergantung banyaknya agen yang masuk ke dalam tubuh. Jika agen yang masuk tubuh jumlahnya sangat tinggi maka masa inkubasinya akan berlangsung selama 11 hari sedangkan jika jumlahnya masih dalam batas ambang toleransi maka masa inkubasinya akan berlangsung selama 4-6 minggu (Melintira et all 2003). Selain itu jika Mycoplasma hyopneumoniae yang masuk ke dalam tubuh jumlahnya sangat sedikit maka kemungkinan akan infeksi kronis yang bersifat subklinis.

Mycoplasma pneumoniae merupakan mikroorganisme ekstraselular tetapi umumnya dapat menyebabkan kerusakan silia dan sel mukosa saluran pernapasan babi, antara lain di silia epitel paru-paru (Bailao et al 2007). Silia epitel saluran pernapasan kehilangan kemampuan memproduksi mucous, terjadi ciliostasis, nekrosa epitel paru-paru, dan muncul lesio-lesio di paru-paru. Membran selaput lendir juga rusak karena reduksi mikroorganisme ini, akibatnya organ-organ saluran pernapasan mudah mengalami infeksi sekunder berupa infeksi virus (seperti PCV2) dan infeksi bakteri (seperti pasteurella multocida S. suis, H. Parasuis, A. pyogenes). Mycoplasma pneumoniae juga memiliki kemampuan untuk mengatur respon kekebalan dari inangnya sehingga menyebabkan kondisi immunosupresive dan stimulasi pembentukan sel radang (Lopes 1995). Kemampuan menstimulasi pembentukan sel radang dikarenakan mikroorganisme ini memiliki kemampuan menginduksi pembentukan cytokine IL-1TNF dan IL-6 sebagai respon terhadap radang baik yang berjalan akut maupun kronis. Mikroorganisme ini dapat bertahan dalam saluran napas selama beberapa minggu setelah infeksi walaupun setelah pemberian antibiotik. Antibodi spesifik diketahui dapat melawan infeksi tetapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi infeksi ulang. Hal ini memperlihatkan sistem imun berperan dalam perjalanan penyakit.

Gejala klinis
Gejala klinis yang dapat terlihat pada infeksi mikroorganisme ini adalah gejala umum infeksi saluran napas seperti radang paru-paru baik akut maupun kronis. Infeksi Mycoplasma pneumoniae selain dapat bersifat primer juga dapat diikuti infeksi sekunder oleh mikroorganisme lain yang oportunistik (Bailao et all 2007). Gejala klinis yang muncul ketika infeksi primer berupa gangguan saluran pernapasan kronis tanpa disertai batuk, gangguan pertumbuhan (non-efesiensi pakan). Jika disertai infeksi sekunder maka gejala yang tampak berupa batuk yang terus-menerus, sulit bernapas dan peningkatan suhu tubuh. Akan tetapi pada kondisi ini, jika infeksi telah berjalan kronis, batuk tidak akan muncul lagi sebagai tanda klinis (Kwon et all 2002).
Menurut Kwon et all (2002) Porcine Enzootic Pneumonia sebagai penyakit pada babi yang disebabkan oleh infeksi bakteri memiliki gejala klinis berupa gangguan pertumbuhan pada babi, nafsu makan menurun, lethargy, anoreksia, demam batuk dan sesak napas. Pada banyak kasus, diagnosis dapat berdasarkan dari riwayat dan temuan klinis saja. Sedangkan pada kasus terseleksi diperlukan diagnosis definitif seperti pada pasien yang mengalami infeksi berat maupun pasien dengan gangguan system imun.
Menurut Melintira et all (2003), gejala klinis maupun lesio organ pada pemeriksaan patologi anatomi dari infeksi Mycoplasma Hyopneumoniae di hewan hampir sama dengan infeksi bakteri ini pada manusia. Pada manusia penyakitnya disebut sebagai asma dengan gejala klinis yang terjadi berupa gejala umum infeksi saluran pernapasan, demam, malaise, pusing, sakit kepala dan mialgia. Umumnya menyerang anak-anak dan apabila telah berlangsung lama tanpa disertai pengobatan maka kemungkinan besar akan menyebabkan terjadinya obstruksi bronchus. Pada hewan lain seperti tikus maupun mencit (hewan laoratorium), infeksi Mycoplasma hyopneumoniae dapat menyebabkan terjadinya hiperesponsif pada saluran pernapasan.

Patologi anatomi dan histopatologi
Pada babi penyakit yang terinfeksi Mycoplasma pneumonia bentukan patologi anatomi yang ditemukan berupa hepatisasi kelabu paru-paru, pleuritis, lesio-lesio di lobus paru-paru (umumnya di lobus cranial dan lobus acsesorius) dan seringkali disertai eksudat supuratif. Bentukan perubahan yang khas mencirikan infeksi dari mikroorganisme ini yaitu bronchopneumonia supuratif (Lopes 1995). Kehadiran eksudat supuratif sering kali terkait dengan adanya infeksi sekunder dari mikroorganisme lain seperti Pasteurella multocida S. suis, H. Parasuis dan A. Pyogenes.
Temuan histopatologi yang dijumpai berupa akumulasi sel radang makrofag dan neutrofil di alveolar dan jaringan peribronchial, mengaktivasi sel mast, hilangnya silia sel epitel, desquamasi epitel paru-paru dan oedema di alveoli. (Kwon et all 2002).

Uji Laboratorium
Mycoplasma pneumoniae dapat tumbuh dalam pembenihan tanpa sel, pertumbuhannya sangat lambat serta dapat dihambat oleh antibodi spesifik. IsolasiMycoplasma pneumoniae dapat berasal dari berbagai spesimen klinis seperti apusantrakhea, sputum, bronchoalveolarlavage, dan biopsi jaringan yang selanjutnya dibiakkan dalam media agar. Pada kasus penyakit Pneumonia Enzootic Pneumonia bakteri Mycoplasma pneumonia dapat diisolasi dengan preparat swab dari hidung babi. kemudian dikultur dan diperiksa menggunakan PCR. Bakteri ini sangat sulit dibiakkan karena pertumbuhannya yang sangat lambat dibandingkan bakteri lain. Tanpa infeksi sekunder penyakit ini jarang menimbulkan kematian
Uji yang dilakukan berupa ELISA dan PCR. Pemeriksaan ELISA digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi. Umumnya pembentukan antibodi hanya akan berlangsung setelah 6 minggu pasca infeksi. Salah satu contoh uji ini yaitu cold aglutinin. uji ini digunakan untuk mendiagnosa infeksi oleh mikroorganisme Mycoplasma pneumonia dengan menggunakan antibodi serum aglutinin ± 1/32 bagian.
PCR merupakan uji yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antigen di dalam jaringan paru-paru hewan yang terinfeksi. Pemeriksaan serologis dengan uji pengikatan komplemen (complement fixation) merupakan salah satu uji yang akurat untuk mendeteksi Mycoplasma pneumoniae. Serum rangkap (paired sera) fase akut dan konvalesen dievaluasi selama 5-10 hari. Peningkatan titer antibodi empat kali atau lebih besar merupakan kriteria diagnostik. Selain itu pemeriksaan immunofluoresence dapat juga untuk mendeteksi antigen Mycoplasma pneumoniae namun pemeriksaan ini tidak banyak membantu diagnostik. Pemeriksaan ini lebih spesifik dan secara bermakna lebih sensitif dibandingkan biakan tetapi penggunaannya untuk diagnostik memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk menunjangkeberhasilan diagnosa maka penggunaan uji laboratorium harus selalu dipertimbangkan terlebih dahulu.

Treatment
Antibiotik yang digunakan sebagai pengobatan harus mempunyai aktivitas antibakteri yang mencapai fokus infeksi. Infeksi mungkin terbentuk dalam rongga interstisial jaringan atau dalam sel, sehingga kandungan fisikokimia obat diharapkan dapat terdistribusi dalam jaringan tubuh dan menembus ke dalam sel. Prinsip terapi antibiotik terbaik pada infeksi bakteri atipik seperti Mycoplasma pneumoniae adalah kombinasi obat dengan aktivitastinggi dengan kemampuan mencapai konsentrasi intraselular yang tinggi pula.
Pengobatan infeksi Mycoplasma pneumoniae dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Mikroorganisme ini sensitif terhadap tetrasiklin , makrolid, kloramfenikol fluorokuinolon dan eritromisin. Sebaliknya bakteri ini resisten terhadap antibiotic penisilin, sefalosporin, betalaktam, sulfonamid dan rifampisin.
Pencegahan
Sebagai upaya untuk mencegah infeksi dari Mycoplasma pneumoniae peternak babi dapat melakukan perbaikan managemen pemeliharaan (optimalisasi kualitas udara dalam kandang, ventilasi, suhu, dan memperhatikan kepadatan populasi di setiap kandang) serta senantiasa memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar peternakan. Selain itu upaya vaksinasi dapat juga dilakukan sebagai strategi untuk mencegah infeksi dari mikroorganisme ini.


DAFTAR PUSTAKA
Bailao AM, Parente JA, Pereira M & Maria C. 2007. Kinases of two strains of mycoplasma hyopneumoniae and strain of mycoplasma synoviae. Copyright by the Brazilian Society of Genetics : Brazil. Jurnal Genetic and Molecular Biology. 30(1). Hal. 219-224.

Melintira I, Yunus F, Wiyono WH. 2003. Peranan Infeksi Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumonia terhadap Eksaserbasi Asma. Universitas Indonesia : Jakarta. Cermin Dunia kedokteran No 141.

Kwon D, Choi C & Chae C. 2002. Chronologic Localization of Mycoplasma hyopneumoniae in Experimentally Infected Pigs. Seoul National University : Republic of Korea. Vet Pathol 39 : 584-587.

Lopes A, 1995. Respiratory System di dalam Thomson Special Veterinary Pathatology 2nd Ed. USA: Mosby Year Book Inc.
Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Editor: Himawan S. Universitas Indonesia : Jakarta.

Distemper Pada Anjing (oleh: Laurensius Yuvianto, S.KH)

Distemper dapat terjadi pada beberapa hewan selain anjing antara lain coyote, ferret, dan raccoon. Distemper pada anjing disebabkan oleh Canine Distemper Virus. Penyakit tersebut merupakan penyakit yang menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu bifase, leucopenia, radang saluran pencernaan serta pernafasan, dan sering diikuti oleh komplikasi berupa gangguan saraf pusat. Untuk mengatasi distemper biasanya dilakukan vaksinasi, tetapi pada beberapa daerah masih dapat terjadi pada anjing yang sudah divaksin distemper.

Etiologi

Distemper anjing disebabkan oleh virus RNA Paramyxovirus yang berukuran 150-300 µm dengan nukleokasid simetris dan berbungkus lipoprotein. Virus distemper terdiri atas enam struktur protein yaitu nucleoprotein (N) dan dua enzim (P dan L) pada nukleoplasmidnya, juga membrane protein (M) disebelah dalam dan dua protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein sebelah luar. Pembungkus lipoprotein mudah dihancurkan oleh pelarut lemak yang menjadikan virus tidak menular lagi.

Distemper dapat menyerang pada semua ras dan umur anjing. Anjing muda yang tidak divaksin merupakan yang paling sering terinfeksi distemper yang parah. Pada infeksi akut, anjing akan mengeluarkan sekresi dari saluran pernafasan. Sekresi tersebut biasanya akan menjadi sumber penularan virus. Virus distemper diluar induk semang tidak stabil dan akan segera mati.

Penularan virus distemper biasanya terjadi secara aerogen dari batuk hewan yang terinfeksi. Penularan virus lewat udara (per inhalasi) menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag saluran pernafasan. Pada hampir semua kasus, virus masuk melalui hidung dan mulut. Virus mula – mula akan berkembang di dalam limfonodus terdekat. Dalam satu minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam sirkulasi), yang selanjutnya virus akan menyebar menuju organ limfoid, sumsum tulang, dan lamina propria dari epitel. Virus distemper akan tinggal dalam nucleus (intranukleus) maupun dalam sitoplasma (intrasitoplasma) serta akan menyebar ke seluruh jaringan karena virus distemper termasuk pantropik (menyukai seluruh jaringan) Apabila respon jaringan retikuloendothelia bagus, maka akan segera terbentuk antibodi yang cukup dan virus akan mudah dinetralisasi hingga tubuh bebas dari virus. Sebaliknya apabila antibodi tidak terbentuk maka virus akan menyebar dengan cepat ke semua sel epitel dan system saraf pusat. Suhu tubuh akan segera naik, anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernapasan dan mata akan menghasilkan sekreta secara berlebihan (epifora). Batuk, dysnoep, disertai suara cairan dari paru-paru akan segera terjadi. Pada saluran cerna terdapat sel-sel epitel yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan diare, muntah, serta nafsu makan tertekan.

Pada anjing yang terinfeksi gejala awal yang dapat timbul berupa gejala non neurologist antara lain ocular dan nasal discharge, batuk, dysnoep, vomitus, serta diare.Gejala – gejala tersebut akan muncul setelah virus masuk kedalam tubuh kurang lebih satu minggu setelah infeksi. Sedangkan untuk gejala syaraf (neurologis) akan muncul setelah dua sampai tiga minggu setelah infeksi, gejala yang timbul dapat berupa seizure, hyperetesia, kekakuan cervical, gejala vestibular, tetraparesis, maupun ataxia.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul dapat bermacam – macam tergantung dari strain virulensi strain virus, kondisi lingkungan, umur anjing (inang), dan status kekebalan. Kebanyakan dari CDV (Canine Distemper Virus) bersifat subklinis atau dengan kata lain bergabung dengan gejala dari infeksi saluran pernafasan atas yang ditangani tanpa dilakukan terapi lanjutan, salah satu contohnya akibat infeksi Bordetella bronchiseptica (Headley 1999). Masa inkubasi dari virus ini selama 6-8 hari, dengan gejala yang kurang jelas dan baru jelas setelah 2-3 minggu. Gejala awal yang timbul berupa kenaikan suhu pada hari ke 1-3, diikuti dengan penurunan suhu selama beberapa hari, kemudian naik lagi selama satu minggu atau lebih. Saat awal kejadian segera diikuti dengan leukopenia dan limfopenia. Selanjutnya terjadi netrofilia yang berlangsung selama beberapa minggu. Keadaan ini menandakan adanya peradangan dan respon dari tubuh untuk melawan infeksi. Gangguan respirasi ditandai dengan pengeluaran leleran hidung kental, mukopurulen dan leleran air mata yang meningkat (epifora) yang lama kelamaan akan bersifat mukopurulen pada sudut medial (canthus medialis) mata. Anjing yang menderita distemper akan tampak lesu, depresi, batuk – batuk, anoreksia, dan mungkin juga disertai diare dengan feces yang berbau busuk. Pada telapak kaki anjing akan terjadi perubahan menjadi keras karena kurangnya cairan, hal itu yang kemudian menjadi ciri khas dari distemoer yang dinamakan Hardpad disease.Pada anjing muda (2-6 bulan) yang tidak divaksin merupakan yang paling sering diinfeksi distemper yang parah. Pada anjing ini didapati gejala non neurologis termasuk ocular discharge, batuk, dysnoep, vomit, dan diare. Anjing yang terserang menghasilkan bau yang khas. Gejala dehidrasi sangat menonjol dan mungkin penderita mengalami kematian dan gagal ginjal sebagai kompensasi dari dehidrasi yang sangat hebat. Gejala neurologis dimulai 1-3 minggu setelah anjing sembuh dari penyakit sistemik ini dan termasuk hyperestesia, kekakuan cervical, seizure, gejala vestibular dan cerebral, tetraparesis, dan ataxia. Seizure (gejala khas distemper) dapat terjadi dalam beberapa tipe tergantung dari bagian otak yang terinfeksi, tetapi “chewing gum” disebabkan ole poliencephalomalacia dari lobus temporalis. Myoclonus, kontraksi ritmis yang berulang dari kelompok otot menyebabkan fleksio dari tungkai atau kontraksi dari otot penguncah umumnya dikenal sebagai distemper chorea dan umumnya dihubungkan dengan distemper encephalomyelitis. Pada anjing yang muda terinfeksi terjadi ketika gigi permanennya berkembang, ditandai dengan enamel, hypoplasia (gigi yang berwarna coklat). Pada hewan yang lebih tua dapat berkembang dari sub akut menjadi encephalomyelitis kronis dengan gejala neurologist termasuk tetraparesis atau disfungsi vestibular, tanpa ada gejala sistemik.

Gejala saraf bagi yang sembuh berupa (1) tick atau chorea, kejang kronik teratur dari sekelompok otot kaki, wajah, dada, atau bagian tubuh lainnya. (2) paresis atau paralysis yang dimulai dari tubuh bagian belakang. Kalau berjalan terlihat adanya innkordinasi kaki – kaki dan ataxia. (3) gerak mengunyah yang makin lama makin sering dan diikuti oleh hipersalivasi. Kalau penderita tidak mampu bangun, ia memperlihatkan gerakan mengunyah, berputar ke satu arah, kanan atau kiri atau mencoba bangun. Gejala saraf berlangsung beberapa minggu atau bulan. Anjing tidak mampu mengontrol miksi (pengeluaran urin). Pada stadium akhir terlihat adanya kejang – kejang atau tanpa kejang dengan bola mata mengalami nystagmus.

Diagnosis

Diangosa dilakukan berdasarkan gejala klinis yang terlihat serta dibantu dengan annamese dari pemilik anjing. Apabila ada anak anjing yang demam perlu dicurigai apakah anjing tersebut dilahirkan dari induk yang tidak divaksinasi distemper ataukah anjing tersebut belum pernah divaksin distemper. Gejala distemper mungkin ditandai dengan gejala trakheobronchitis (kennel cough) ringan, kejadian ini juga sering terlihat pada penderita yang terinfeksi oleh adeno virus tipe 2 (CAV-2), bakteri Bordetella bronchiseptica ataupun Mycoplasma caninum. Selain itu gejala distemper juga mirip dengan infeksi virus lain seperti hepatitis virus dan parvo virus, maupun karena infeksi cacing. Untuk membedakannya dapat dilakukan pemeriksaan patologi dan histology, selain dilakukan uji laboratorium IFAT dari cairan mata, trachea, vagina ataupun buffy coat. Juga dapat dilakukan pemeriksaan cytopathogenik (CPE) pada pemeriksaan biakan sel. Pemeriksaan antibodi terhadap distemper perlu dilakukan dua kali, dengan selang waktu tiga minggu. Kenaikan lebih dari tiga kali pada pemeriksaan kedua memiliki arti diagnostik.

Virus tinggal diberbagai jaringan, misalnya kulit, telapak kaki dan saraf pusat selama 60 hari. Pada pemeriksaan histology, inclusi bodinya terdapat intranuklear dan intrasitoplasmik. Jika dibiopsi dapat dilakukan uji IFAT atau immunoperoksidase. Uji akurat dan cepat dilakukan dengan metode PCR terhadap serum, darah atau cairan cerebrospinal.

Prognosa

Pada anjing dengan infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksin, progonosanya buruk tetapi bila anjing tidak memiliki antibodi yang baik serta belum pernah divaksin maka prognosanya buruk sampai infausta.

Terapi

Infeksi virus distemper menyebabkan immunosupresi selama beberapa minggu, infeksi sekunder hamper tidak dapat dihindari, mulai dari infeksi kuman, mycoplasma sampai protozoa (toxoplasma). Oleh karena itu pemberian antibiotika spectrum luas di permukaan untuk melawan infeksi sekunder sangat diperlukan. Pengobatan supuratif maupun symptomatic harus dilakukan. Terapi anti konvulsi direkomendasikan untuk mengontrol seizure. Dosis anti inflamasi dari glukokortikosteroid (0.5 mg/Kg BB 2X sehari untuk 10 hari) dapat digunakan untuk mengontrol gejala neurology lain tanpa adanya penyakit sistemik meskipun efek yang menguntungkan tidak tercatat dengan baik. Disfungsi neurologist yang berulang biasanya mengharuskan anjing di euthanasia.

Pencegahan

Pencegahan agar anjing tidak terinfeksi distemper maka dilakukan vaksinasi baik dengan vaksin monovalen maupun polivalen, gabungan dengan immunogen agen lain, misalnya parvovirus, adenovirus dan lain-lain. Vaksinasi secara meluas merupakan substansi untuk mengurangi kejadian dari infeksi Canine Distemper Virus (CDV) pada beberapa daerah tapi wabah masih dapat terjadi pada anjing-anjing yang tidak divaksin dan secara sporadis pada anjing yang divaksin

Antibodi maternal yang berasal dari induk telah sangat menurun potensinya saat anak anjing berumur 14 minggu. Pada umur tersebut anak anjing sudah siap secara aktif membentuk antibodi kalau ada immunogen yang dimasukkan. Antibodi maternal pada anjing lebih muda akan dapat menetralkan (blocking) virus dilemahkan yang digunakan sebagai vaksin. Kalau hal tersebut terjadi anak anjing justru akan mudah menderita sakit distemper bila ada virus distemper yang menginfeksi.

Untuk anak anjing yang dipandang tinggi ancamannya terinfeksi oleh virus distemper, dianjurkan untuk disunti vaksin camapak (measles vaksin) pada umur 6-12 minggu, sebelum disuntik vaksin distemper MLV. Vaksin campak berguna untuk memacu pembentukkan antibodi heterolog hingga dapat mencegah infeksi virus distemper pada saat antibodi maternal sudah menyusut. Dapat juga vaksin campak tersebut diberikan bersama vaksin distemper pada anak anjing berumur 6-12 minggu, dan hanya diberikan sekali saja, sebelum program vaksinasi distemper dilanjutkan.

Anak anjing yang akan dikeluarkan dari peternakan atau petshop perlu disuntik setidaknya 10 hari sebelum dikeluarkan. Anjing kesayangan sebaiknya disuntik pada umur 6-8 minggu dan diulang pada umur 12 minggu. Apabila sebelum dikawinkan, induk telah divaksin terhadap distemper maka anak anjing yang dilahirkannya sebaiknya juga disuntik pada umur 8 minggu kecuali anak anjing itu menderita suatu penyakit tertentu, maka perlu ditunggu hingga benar-benar sehat.

Virus distemper dapat berkembang dengan paparan mengikuti stress, kesakitan atau immunosupresi meskipun anjing telah divaksinasi. Meningoencephalitis dilaporkan pada beberapa anjing berumur 7-14 hari setelah vaksinasi dengan modified life virus-CD vaccines (MLV-CDV).

Kesimpulan

Distemper merupakan penyakit yang disebabkan oleh Canine Distemper Virus yang termasuk famili Paramyxoviridae, dan merupakan penyakit yang menular dapat menyebabkan kematian pada anjing. Anjing muda umumnya sangat rentan terserang virus ini, dengan gejala yang bervariasi. Distemper mempunyai empat gejala khas yaitu gejala pernafasan, gejala pencernaan, gejala kulit, dan gejala saraf berupa neuristik, tremor, dan paralisa. Gejala akut dari penyakit ini berupa konjunctivitis, rhinitis, faringitis, pneumonia, vomitus, diare berdarah, dan ptechi pada kulit / lipatan paha. Sedangkan pada gejala kronis terjadi gangguan saraf pusat, kaku bergetar, HPD (Hardpad Disease) karena pembentukan sel tanduk pada telapak kaki dan hidung sehingga anjing bunyinya petak-petak bila berjalan. HPD juga dapat terjadi karena lokalisasi virus pada stratum spinosum dan granulosum. Sebaliknya, munculnya badan inklusi CDV dan degenerasi ballooning pada keratinosit sangat tidak umum, paling sedikit pada epidermis telapak kaki.

Daftar Pustaka

Aiello S. 1998. The Merck Veterinary Manual. Whitehouse Station, N.J, USA: Merck & Co.Inc.

Anonim. http://www.marvistavet.com/html/canine_distemper.html. [28 april 2009]

Headley et al. 1999. Canine Distemper Virus Infection With Secondary Bordotella bronchispetica Pneumonia In Dogs. Ciěncia Rural: v. 29 n. 4

Fenner FJ et al. 1995. Virologi of Veteriner ed. Ke-2. Harya DK; penerjemah. Virology of Veteriner. USA: Academic Pr.

Lopes A, 1995. Respiratory System di dalam Thomson Special Veterinary Pathatology 2nd Ed. USA: Mosby Year Book Inc

Nelson RW, Couto CG. 2003. Small Animal Internal Medicine. Ed-3. Missouri : Mosby

Steiner JM, Williams DA. 2005. Canine Distemper Virus. In Ettinger SJ, Feldman EC (eds): Textbook of Veterinary Internal Medicine, Diseases of the Dog and Cat, 6th ed. St. Louis, Elsevier Saunders, pp. 1489- 1491.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Ed-1. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.